Meski karam setelah menabrak gunung es pada 15 April 1912, 104 tahun lalu, RMS Titanic tetap dikenang sebagai kapal paling mewah pada eranya -- atau mungkin sepanjang masa. Dibutuhkan uang sebesar US$ 7,5 juta pada 1912 -- setara dengan US$ 180 atau Rp 2,4 triliun pada masa kini -- untuk membangun dan melengkapi bahtera itu.
Dengan dana sebesar itu, tak ada yang tak bisa diwujudkan untuk Titanic -- kecuali sekoci yang faktanya tak imbang dengan jumlah penumpangnya. Untuk akomodasi, para penumpang kelas dua dan tiga mendapat fasilitas yang sedikit lebih baik dari kapal lain. Namun, untuk kelas utama, Titanic sungguh istimewa.
Apa yang didapat para pemegang tiket kelas satu?
Charlotte Drake Cardeza adalah salah satu penumpang kelas utama. Perempuan tersebut berusia 58 tahun saat terdaftar jadi tamu terhormat di Titanic.
Meski tak masuk daftar A+ yang isinya para miliarder lain di Titanic, seperti John Jacob Astor IV dan Benjamin Guggenheim, Cardeza juga punya pundi-pundi harta banyak dari warisan ayahnya yang pemilik pabrik tekstil. Cardeza tidak kesulitan membeli tiket, yang diyakini sebagai yang termahal di kapal tersebut. Harganya US$ 2.560 pada 1912 -- setara US$ 61 ribu atau Rp 803 juta saat ini.
Ia naik Titanic dari Cherbourg bersama Thomas, putranya yang berusia 36 tahun, dan dua pelayan pribadi. Perempuan tersebut juga membawa serta 14 peti barang, 4 koper, dan 2 krat berisi segala perlengkapan. Rombongan Cardeza menempati suite 3 kamar, yang memiliki 2 ruang tidur, 1 ruang duduk, dua ruang wardrobe, dan sebuah kamar mandi. Para pelayan menempati kabin terpisah.
Suite yang mereka tempati adalah 1 dari dua yang termewah di kapal tersebut. Lainnya ditempati J.P. Morgan, yang mengendalikan perusahaan pemilik Titanic. Fasilitas paling tak biasa yang dimiliki suite tersebut adalah dek pribadi sepanjang 50 kaki atau 15 meter. Tak hanya berjarak jauh dari penumpang kelas geladak, Cardeza dan putranya juga tak harus berbaur dengan sesama penumpang kelas satu lainnya.
Pada waktu makan, mereka boleh makan di ruang bersantap kelas utama, atau memesan menu a la carte -- dengan tambahan biaya. Setidaknya ada 10 hidangan yang disajikan dalam sekali makan malam. Menu untuk penumpang kelas satu disesaki pilihan makanan mahal, termasuk masakan daging kelas satu, tiram, salmon, ayam, lembu, itik, dan burung dara.
Setelah makan malam, Thomas mungkin bergabung dengan pria kaya dan terhormat lainnya di ruang cerutu. Sementara, sang ibu, Charlotte bisa menuju lounge yang didesain ala Istana Versailles, untuk main kartu atau mengobrol. Jika tak memesan makanan tambahan seperti pate de foie gras atau buah persik dalam jeli Chartreuse, mereka mungkin sibuk merencanakan kunjungan hari berikutnya ke kolam air asin, pemandian Turki, lapangan squash, atau gimnasium yang dilengkapi mesin latihan olahraga tercanggih kala itu.
Entah apakah kekayaannya ikut andil, Charlotte Cardeza, putranya, juga para pelayan mendapat ruang di sekoci pada saat Titanic mulai karam setelah menabrak gunung es -- tak seperti 1.500 orang lainnya yang tewas terjebak dalam kapal atau hipotermia di lautan beku.
Tentu saja, mereka harus meninggalkan hampir semua harta benda yang dibawa ke Titanic. Beberapa bulan kemudian, saat Charlotte Cardeza melayangkan keluhan pada pihak pemilik Titanic, daftar barangnya yang hilang -- di antaranya pakaian, mantel bulu, dan perhiasan -- memenuhi dokumen setebal 16 halaman. Termasuk dalam daftar adalah uang tunai sebesar US$ 5.500, yang nilainya kini setara US$ 132 ribu atau Rp 1,7 miliar.
Namun, uang tunai tersebut tak ada artinya dibanding nilai total harta bendanya yang binasa, yang mencapai US$ 177 ribu atau setara US$ 4,2 juta pada 2016. Jika dirupiahkan, maka nilainya mencapai Rp 55,3 miliar. Meski kehilangan banyak harta, yang karam bersama Titanic di dasar laut Atlantik, Cardeza tak lantas jatuh miskin. Charlotte dan Thomas tetap hidup bergelimang kemewahan hingga akhir hayat.
Charlotte tutup usia pada 1939, dan putranya pada 1952. Charlotte Cardeza hanya satu dari sekian penumpang kelas satu di dalam Titanic. Dan tak seperti yang digambarkan dalam film, tak semua orang orang berduit tak punya hati. Saat sekoci diturunkan, awak kapal memerintahkan, 'perempuan dan anak-anak' jadi prioritas, sebanyak 115 pria dari kelas utama dan 147 pria dari kelas 2 berdiri dan keluar dari sekoci. John Jacob Astor, yang konon orang terkaya di dunia saat itu, mendudukkan istrinya ke sekoci, lalu melambaikan tangan perpisahan pada perempuan yang ia cintai.
Pun dengan Benjamin Guggenheim. Ia menolak naik sekoci. "Tak ada perempuan yang boleh ditinggalkan di atas kapal ini hanya karena Ben Guggenheim seorang yang pengecut," kata dia, seperti dituturkan saksi mata. Statistik membuktikan hal itu. Dari semua penumpang kelas satu, semua anak selamat, sementara 5 dari 144 perempuan meninggal dunia karena memilih mati bersama suami mereka.
Nahasnya 70 persen pria yang ada di kelas utama masuk daftar korban jiwa dalam tragedi Titanic. Di kelas dua, 80 persen perempuan selamat, namun 90 persen dari para pria tewas. Mereka mempraktikkan prinsip noblesse oblige -- bahwa kekuasaan dan kehormatan mendatangkan tanggung jawab. Mungkin saat ini tak ada orang yang percaya, kaum berduit di Titanic masih memegang teguh hal tersebut. Meski, nyawa mereka jadi taruhannya.
( sumber )