Siapa saja yang mengalami gejala stroke-meski ringan-harus segera datang atau dibawa ke rumah sakit dengan fasilitas pemindaian tomografi terkomputasi (CT scan) sebelum 4,5 jam. Jika terlambat, stroke bisa berujung kecacatan, bahkan kematian.
Menurut dokter spesialis saraf RS jantung Diagram, Siloam Hospitals Group, Poppy Chandradewi, dikenal transient ischaemic attack (TIA), yakni gejala stroke sesaat dan ringan yang pulih sendiri kurang dari 24 jam, sekilas baik, sehingga penderita menganggapnya aman. Padahal, itu pertanda serangan lebih serius bisa datang lagi.
"Segera ke UGD (unit gawat darurat) di rumah sakit ketika TIA," kata Poppy, Sabtu (23/7), di Jakarta, dalam Forum Diskusi Kesehatan kerja sama harian Kompas dan RS Siloam bertema "Kenali dan Atasi Gejala Stroke".
Pembicara lain adalah Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia M Kurniawan dan Kepala Subdirektorat Penyakit jantung dan Pembuluh Darah Kementerian Kesehatan Zamhir Setiawan.
Poppy mengatakan, satu saja gejala stroke muncul harus segera ditanggapi dengan membawa penderita ke UGD RS. Periode emasnya 4,5 jam sebelum kian sulit ditolong tenaga medis.
"Kalaupun 4,5 jam terlewat, paling lama delapan jam," kata M Kurniawan.
FAST, singkatan dari face (wajah), arm (lengan atau anggota gerak), speech (bicara), dan time (waktu), bisa menjadi panduan awam mengenali dan cepat tanggap setidaknya pada tiga gejala umum stroke. Gejala itu, mulut mencong; anggota gerak tiba-tiba lemah, contohnya tangan tiba-tiba sulit mengangkat gelas atau berjalan dengan kaki diseret; dan bicara cadel atau pelo.
Stroke merupakan gangguan saraf tiba-tiba yang menyerang pembuluh darah di otak, bahkan bisa pada pembuluh darah retina mata. Poppy menjelaskan, pasokan darah menuju otak menjadi tidak lancar karena pembuluh darah tersumbat atau pecah. Kondisi itu membuat sel-sel otak kekurangan oksigen dan nutrisi sehingga bisa berujung kecacatan permanen hingga kematian.
Berdasarkan Sample Registration System Indonesia 2014, stroke penyebab nomor satu kematian semua umur, mencakup 21,1 persen kematian. Ini mengalahkan kematian akibat jantung koroner (12,9 persen) dan diabetes melitus dengan komplikasi (6,7 persen).
Kesadaran rendah
Penyakit stroke sudah dikenal lama. Namun, kata M Kurniawan, kesadaran publik untuk sesegera mungkin membawa penderita gejala stroke ke RS masih rendah. Di RS Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, tempat Kurniawan berpraktik, misalnya, dari sekitar 300 pasien stroke per tahun selama 2012-2015, kurang dari 10 persen yang datang sebelum 4,5 jam.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi (sebaran) stroke 8,3 per mil (per 1.000 penduduk), lalu menjadi 12,1 per mil dalam Riskesdas 2013. "Meningkat 50 persen hanya dalam enam tahun. Ini masalah serius di Indonesia," ujar Kurniawan.
Faktor risiko utama stroke adalah hipertensi (tekanan darah tinggi) dan diabetes. Karena itu, Zamhir mengatakan, Kemenkes membuat kebijakan untuk terus menggugah kesadaran publik untuk berpola hidup sehat. "Perilaku adalah yang paling sulit diubah," ujarnya.
Kemenkes juga mendorong pemberdayaan masyarakat membentuk pos pembinaan terpadu penyakit tidak menular (posbindu PTM) di semua desa dengan kegiatan deteksi dini penyakit dan pemantauan faktor-faktor risikonya. Target Kemenkes, posbindu dibentuk di 30 persen desa di Indonesia pada 2017. Stroke bukan lagi ancaman masyarakat kota saja.
(sumber)